ada yang beranggapan begini,
Waktu jaman Majapahit, orang Jawa (Gajah Mada, dll) membuat nusantara makmur dan jaya. Orang jawa berkebudayaan tinggi, kreatif dan toleran.
Setelah Islam masuk di Jawa, negara kita hancur korban dari penajahan Belanda, Jepang, dsb. Korban dari korupsi, kekerasan/teror, malapetaka. Dan korban dari imperialisme Arab (Indonesia adalah negara pemasok jemaah haji yang terbesar di dunia). Bangsa Arab ini memang hebat sekali karena telah berhasil menemukan cara untuk memasukkan devisa untuk mereka sendiri. Sedangkan situasi ekonomi negara kita dalam keadaan yang sangat parah. Imperialisme Arab ini memang sangat kejam. Turun-temurun sampai anak-cucu, tidak tahu sampai kapan, nusantara diharuskan membayar “pajak” kepada Imperialisme Arab ini dengan alasan: kewajiban menjalankan rukun Islam.
Padahal, sebelum Islam masuk ke Jawa, orang Jawa sudah menganut agama universal yaitu agama Kejawen.
Bagaimana caranya supaya orang Jawa kembali bisa memakmurkan negara kita yang tercinta ini?
tanggapan:
sebenarnya bukan hanya orang Jawa saja. saya kurang setuju dengan adanya pemikiran Jawa sentris, karena nusantara meliputi sabang sampai merauke. alangkah baiknya jika pemikiran diarahkan “untuk segenap bangsa Indonesia bersama-sama memakmurkan negara tercinta ini”.
permasalahan yang terkait di atas, bukan berarti korelasi yang tepat dalam menggambarkan suatu agama (dalam hal ini yang menjadi obyeknya adalah Islam) dan dampaknya terhadap masyarakat Jawa. karena bagaimanapun, pluralisme akan tetap terlaksana.
tentu saja, bukan hal yang bijak bila kita meninjau dari satu segi arah saja, karena saya berprinsip semua permasalahan tersebut bukan dan tidak berasal dari agama, melainkan dari pemeluknya, atau dengan kata lain manusia yang menyandang titel “umat beragama” tersebut. tidak relevan bila kita sangkut pautkan dengan agama yang notabene semuanya mengajarkan tentang “hakikat rahmah bagi alam semesta”
tidak ada yang salah dengan segala praktik keagamaan, yang tentu selama sesuai dengan tuntunan, prosedural yang berlaku. karena bagaimanapun, bila kita hanya menunjuk pada satu titik permasalahan maka akan terjadi dikotomi.
memang, kewajaran akan ketidakpuasan dengan hal yang berbau agama bukanlah barang baru. konon saja, permasalahan indulgensia, tapa brata, bumi sentris, reinaissance, sampai poligami yang sedang dibahas ini sudah pasti menjadi topik yang hangat lebih dari dua dekade yang lalu. namun titik temunya justru adalah: kembali pada keyakinan masing-masing.
jadi harap maklum saja. semua akan kembali pada diri kita masing-masing.
cara memakmurkan negara? tentu saja dengan action yang real. yang mampu segera bertindak. karena hal itu bagaimanapun tanpa adanya yang mengawali untuk perbaikan, tidak akan pernah terjadi perbaikan.
siapa yang menanam, dia yang akan memanen. siapa yang memulai, maka yang lain akan mengikuti.
terima kasih ^^
Wah, tanggapan atas komen OOT itu ya…?
Gut, gut… *lagi malas nulis yang panjang-panjang*
sependapat dengan shinobi san … ^^
Ma setuju berat,, bukan masalah agamanya,, tapi orangnya,,
bikin negara kita makmur? mekanisme pajak dibagusin, korupsi dikurangin, tambah lapangan kerja, mulai dari sana bisa juga tuh,,
-Mimpi kali Ma,,- 😀
*menumpang komentar ya?*
Setuju. Dengan pendapat diatas..
Dan bukankah Kejawen itu akulturasi kepercayaan Animisme-Dinamisme, agama Hindu-Buddha, dan Islam?
Jadi rasanya kurang tepat kalau menyalahkan Islam (jadinya saya kurang setuju sama yang beranggapan begitu).
yah…semua sudah punya rejeki dan takdir masing-masing kan?
terus terang saya sedih melihat akhir akhir ini banyak sekali manusia yang menggunakan agama untuk mencapai tujuan tertentu…seakan dengan membawa agama mereka berhak menghakimi orang lain yang berbeda dengan keyakinan mereka…
Setuju.
Mungkin karena ‘antek – antek’ Islam ‘palsu’ sudah membuat sebegitu banyak blunder di mata Internasional, membuat orang akan ber-statemen seperti itu.
Kejawen tidak ada hubungannya dengan Islam. Malah berlawanan arah. Kejawen itu agama luhur.
Ini saya menemukan sebuah artikel yang sangat menarik tentang agama Kejawen. Ini situsnya: http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/1581.htm
HAKEKAT TUHAN MENURUT ORANG JAWA
Oleh Adi Soeripto
Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”. IA adalah sang Sangkan
sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan
Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan
Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari . Orang Jawa biasa
menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu”
di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran”
dengan “kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari
kata “pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”,
yang di Bali disebut “sweca”. Sedang wujudNYA tak tergambarkan,
karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata tak dapat
menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata
hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk
menggambarkan kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan
kena kinaya ngapa” ( tak dapat disepertikan). Artinya sama dengan
sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya
bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA. Karena itu
kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya
Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat
Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk) ,
Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain.Sistem
pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama
seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti”
artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak
nama”.
Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya.
Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan
bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan
ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka,
warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya,
seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah
atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang
terjadi pada ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan:
Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening
geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu.
Artinya, Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak
terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama
dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu.
Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai”
atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski
bertempat di air keruh. Ceritera tentang Bima bertemu
dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya
mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’ adalah sehubungan dengan
pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis
juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing
leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak
terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen
sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang dalam Bhagavad Gita
dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.
Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya
pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa
mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya
jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan di
atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah Hinduisme,
yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian Brahman Atman
Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-
kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian Gusti adalah
Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga
disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat
dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah
Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”.
Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah
tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk
menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis
dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu
tetapi tidak seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah yang
menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa
penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan
Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan
berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja
bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman
bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu
menyatu. Brahman adalah sumber energi, sedang Atman cahayanya.
Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering
digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa
Jawa “kaya geni lan urube”
Upaya mencari Tuhan
Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka
orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan
Tuhan. Mereka menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan
sistim simbol untuk memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah
kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut: Ana pandhita
akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi
nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake
kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst. Di sini jelas
bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin),
ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul
nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe),
wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak
tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa
Jawa ” tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama
dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.
Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu
mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah
sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang
ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung
dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”,
ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang”
dan “batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi
yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad
raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden,
tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat
semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling
bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi
segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti
udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada,
baik di luar maupun di dalamnya.
Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau
pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan
yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita
hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan
keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu
dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha
pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan
Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan”
maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab
hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”.
Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri”
dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa
berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha
membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman.
Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah
melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala
aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang
membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah
menjadikan diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah
dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja.
Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang
di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai
simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam
bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna
itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk
bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di
Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih
mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap
sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran
katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti
adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan
Padmasana, tetapi “lingga yoni”. Baru setelah runtuhnya kerajaan
Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon sementara sejarawan
berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang
Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali,
setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.
Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah
untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan
melaksanakan “yoga” secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang
tentu diawali dengan “pranayama” yang merupakan salah satu cara
untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama pernafasan” Hasil
minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja
Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai
tahta “Sang Hyang Widhi”. Ketika memuja itulah mereka
berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan
diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap
dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang
Jawa, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda
khusus. Konon, ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa
terjun ke suasana “heneng” atau “sunya”, tenggelam dalam
suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang
dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak
terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang
Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep
layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati”
(ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi,
kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna
kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban
apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng”
atau “kedamaian sejati”. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam
agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”. Kebahagian abadi yang
tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.
Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses
penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa
Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia
Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang
Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam
diriku”. Karena itulah ketika kita mengawali proses “kramaning
sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM Atma Tattvatma”, orang Jawa
menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata “Duh Pangeraningsun”,
yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman kita jadikan kawan
utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin
bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara
simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica
binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad, artinya: Ia hanya
sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh
jagad raya akan tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam
istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk memanfaatkannya orang
harus mengenalnya lebih jauh.
Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun
terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam
perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak
disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih,
merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi mereka di dalam jiwa
manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk
warna “pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma wasana”
seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka
harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan
dan tak terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya.
Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a i dalam ajaran Hindu. Dalam
setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya
disebut namanya agar ikut membantu.
Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai
usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira
dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah
Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin
dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini jelas bahwa pemanfaatan
energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang
tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha Energi
itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka,
yang tidak mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja
diciptakan Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok
ngemuli elenge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dst.
Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air
sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa
lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa
rasa dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti
dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari
sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang
berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah
api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen sekaligus
transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun
rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa
ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan
sini sama saja”. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang
kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.
Semua hal yang diterangkan di atas adalah ajaran Hindu. Namun bagi
mereka, yang tidak mau berusaha mencari “akarnya” dan tidak mau
berlajar Hinduisme, menganggapnya sebagai “agama Jawa”. Dan
karena “agama Jawa” tidak ada, maka mereka menempatkannya sebatas
faham, yaitu faham “kejawen” dan eksis sebagai aliran kepercayaan.
Quotes :
” Spirituality is essentially a journey within. You need no preparations, no
luggage to carry – nothing absolutely. What you need is just : LOVE ! And this
Love, can only come as an after effect of self-actualization, achieved through
the practice of meditative way of life.”
– Anand Krishna –
tanggapannya kok nggak membahs mengenai imperialisme Arab?
Loh? Ente juga dapet komen macam ini? saya juga dapat loh! Berarti yang komen bot dong?
yup. menarik sekali apa yang diutarakan oleh sdr. idris, mengenai permasalahan “aliran kepercayaan”. perlu kita ketahui bersama, bahwasanya pemerintah pun memiliki wadah untuk menampung berbagai macam “aliran kepercayaan”, disamping agama-agama yang diakui oleh pemerintah ^ ^
sebenarnya tidak ada masalah mengenai perbedaan. semua cukup jelas.
namun yang ditekankan sekarang, adalah siapa pun itu, baik aliran kepercayaan manapun, agama apapun, selama kita berada pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka semua persoalan adalah menyangkut hajat hidup orang banyak~ Masyarakat Indonesia~ dari sumatera hingga papua.
sepakat ngga nih? ^ ^
aduh poseng. ntar baca lagi deh.hehe
Di Forum Religiositas Agama, saya menemukan artikel yang menarik sekali. Ini situsnya: http://hatinurani21.wordpress.com/
MENGAPA KEBUDAYAAN JAWA MENGALAMI KEMUNDURAN YANG SIGNIFIKAN?
Pengantar
Manusia Jawa adalah mayoritas di Indonesia. Nasib bangsa Indonesia sangat tergantung kepada kemampuan penalaran, skill, dan manajemen manusia Jawa (MJ). Sayang sekali s/d saat ini, MJ mengalami krisis kebudayaan; hal ini disebabkan Kebudayaan Jawa (KJ) dibiarkan merana, tidak terawat, dan tidak dikembangkan oleh pihak2 yang berkompeten (TERUTAMA OLEH POLITISI). Bahkan KJ terkesan dibiarkan mati merana digerilya oleh kebudayaan asing (terutama dari timur tengah/Arab). Mochtar Lubis dalam bukunya: Manusia Indonesia Baru, juga mengkritisi watak2 negatip manusia Jawa seperti munafik, feodal, malas, tidak suka bertanggung jawab, suka gengsi dan prestis, dan tidak suka bisnis (lebih aman jadi pegawai).
Kemunduran kebudayaan Jawa tidak lepas dari dosa regim Orde Baru. Strategi regim Soeharto untuk melepaskan diri dari tuannya (USA dkk.) dan tekanan kaum reformis melalui politisasi agama Islam menjadikan Indonesia mengarah ke ideologi Timur Tengah (Arab). Indonesia saat ini (2007) adalah kembali menjadi ajang pertempuran antara: Barat lawan Timur Tengah, antara kaum sekuler dan kaum Islam, antara modernitas dan kekolotan agama. (mohon dibaca artikel yang lain dulu, sebaiknya sesuai no. urut)
Boleh diibaratkan bahwa manusia Jawa terusmenerus mengalami penjajahan, misalnya penjajahan oleh:
– Bs. Belanda selama 300 tahunan
– Bs. Jepang selama hampir 3 tahunan
– Regim Soeharto/ORBA selama hampir 32 tahun (Londo Ireng).
– Negara Adidaya/perusahaan multi nasioanal selama ORBA s/d saat ini.
– Sekarang dan dimasa dekat, bila tidak hati2, diramalkan bahwa Indonesia akan menjadi negara boneka Timur Tengah/Arab Saudi (melalui kendaraan utama politisasi agama).
Kemunduran kebudayaan manusia Jawa sangat terasa sekali, karena suku Jawa adalah mayoritas di Indonesia, maka kemundurannya mengakibatkan kemunduran negara Indonesia, sebagai contoh kemunduran adalah terpaan berbagai krisis yang tak pernah selesai dialami oleh bangsa Indonesia. Politisasi uang dan agama mengakibatkan percepatan krisis kebudayaan Jawa, seperti analisa dibawah ini.
Gerilya Kebudayaan
Negara2 TIMTENG/ARAB harus berjuang sekuat tenaga dengan cara apapun untuk mendapat devisa selain dari kekayaan minyak (petro dollar), hal ini mengingat tambang minyak di Timur Tengah (TIMTENG/Arab) adalah terbatas umurnya; diperkirakan oleh para ahli bahwa umur tambang minyak sekitar 15 tahun lagi, disamping itu, penemuan energi alternatip akan dapat membuat minyak turun harganya. Begitu negara Timur Tengah mendapat angin dari regim Orde Baru, Indonesia lalu bagaikan diterpa badai gurun Sahara yang panas! Pemanfaatan agama (politisasi agama) oleh negara asing (negara2 Arab) untuk mendominasi dan menipiskan kebudayaan setempat (Indonesia) mendapatkan angin bagus, ini berlangsung dengan begitu kuat dan begitu vulgarnya. Gerilya kebudayaan asing lewat politisasi agama begitu gencarnya, terutama lewat media televisi, majalah, buku dan radio. Gerilya kebudayaan melalui TV ini sungguh secara halus-nylamur-tak kentara, orang awam pasti sulit mencernanya! Berikut ini adalah gerilya kebudayaan yang sedang berlangsung:
– Dalam sinetron, hal-hal yang berbau mistik, dukun, santet dan yang negatip sering dikonotasikan dengan manusia yang mengenakan pakaian adat Jawa seperti surjan, batik, blangkon kebaya dan keris; kemudian hal-hal yang berkenaan dengan kebaikan dan kesucian dihubungkan dengan pakaian keagamaan dari Timur Tengah/Arab. Kebudayaan yang Jawa dikalahkan oleh yang Timur Tengah.
– Artis2 film dan sinetron digarap duluan mengingat mereka adalah banyak menjadi idola masyarakat muda (yang nalarnya kurang jalan). Para artis, yang blo’oon politik ini, bagaikan di masukan ke salon rias Timur Tengah/Arab, untuk kemudian ditampilkan di layar televisi, koran, dan majalah demi membentuk mind set (seting pikiran) yang berkiblat ke Arab.
– Bahasa Jawa beserta ungkapannya yang sangat luas, luhur, dalam, dan fleksibel juga digerilya. Dimulai dengan salam pertemuan yang memakai assalam…dan wassalam…. Dulu kita bangga dengan ungkapan: Tut wuri handayani, menang tanpo ngasorake, gotong royong, dsb.; sekarang kita dibiasakan oleh para gerilyawan kebudayaan dengan istilah2 asing dari Arab, misalnya: amal maruh nahi mungkar, saleh dan soleha, dst. Untuk memperkuat gerilya, dikonotasikan bahwa bhs. Arab itu membuat manusia dekat dengan surga! Sungguh cerdik dan licik.
– Kebaya, modolan dan surjan diganti dengan jilbab, celana congkrang, dan jenggot ala orang Arab. Nama2 Jawa dengan Ki dan Nyi (misal Ki Hajar …) mulai dihilangkan, nama ke Arab2an dipopulerkan. Dalam wayang kulit, juga dilakukan gerilya kebudayaan: senjata pamungkas raja Pandawa yaitu Puntadewa menjadi disebut Kalimat Syahadat (jimat Kalimo Sodo), padahal wayang kulit berasal dari agama Hindu (banyak dewa-dewinya yang tidak Islami), jadi bukan Islam; bukankah ini sangat memalukan? Gending2 Jawa yang indah, gending2 dolanan anak2 yang bagus semisal: jamuran, cublak2 suweng, soyang2, dst., sedikit demi sedikit digerilya dan digeser dengan musik qasidahan dari Arab. Dibeberapa tempat (Padang, Aceh, Jawa Barat) usaha menetapkan hukum syariah Islam terus digulirkan, dimulai dengan kewajiban berjilbab! Kemudian, mereka lebih dalam lagi mulai mengusik ke bhinekaan Indonesia, dengan berbagai larangan dan usikan bangunan2 ibadah dan sekolah non Islam.
– Gerilya lewat pendidikan juga gencar, perguruan berbasis Taman Siswa yang nasionalis, pluralis dan menjujung tinggi kebudayaan Jawa secara lambat namun pasti juga digerilya, mereka ini digeser oleh madrasah2/pesantren2. Padahal Taman Siswa adalah asli produk perjuangan dan merupakan kebanggaan manusia Jawa. UU Sisdiknas juga merupakan gerilya yang luar biasa berhasilnya. Sekolah swasta berciri keagamaan non Islam dipaksa menyediakan guru beragama Islam, sehingga ciri mereka lenyap.
– Demikian pula dengan perbankan, mereka ingin eksklusif dengan bank syariah, dengan menghindari kata bunga/rente/riba; istilah ke Arab2an pun diada-adakan, walau nampak kurang logis! Seperti USA memakai IMF, dan orang Yahudi menguasai finansial, maka manusia Arab ingin mendominasi Indonesia memakai strategi halal-haramnya pinjaman, misalnya lewat bank syariah.
– Keberhasilan perempuan dalam menduduki jabatan tinggi di pegawai negeri (eselon 1 s/d 3) dikonotasikan/dipotretkan dengan penampilan berjilbab dan naik mobil yang baik. Para pejabat eselon ini lalu memberikan pengarahan untuk arabisasi pakaian dinas di kantor masing2.
– Di hampir pelosok P. Jawa kita dapat menyaksikan bangunan2 masjid yang megah, dana pembangunan dari Arab luar biasa besarnya. Bahkan organisasi preman bentukan militer di jaman ORBA, yaitu Pemuda Pancasila, pun mendapatkan grojogan dana dari Timur Tengah untuk membangun pesantren2 di Kalimantan, luar biasa!
– Fatwa MUI pada bulan Agustus 2005 tentang larangan2 yang tidak berdasar nalar dan tidak menjaga keharmonisan masyarakat sungguh menyakitkan manusia Jawa yang suka damai dan harmoni. Bila ulama hanya menjadi sekedar alat politik, maka panglima agama adalah ulama politikus yang mementingkan uang, kekuasaan dan jabatan saja; efek keputusan tidak mereka hiraukan. Sejarah ORBA membuktikan bahwa MUI dan ICMI adalah alat regim ORBA yang sangat canggih. Saat ini, MUI boleh dikata telah menjadi alat negara asing (Arab) untuk menguasai
– Dimasa lalu, banyak orang cerdas mengatakan bahwa Wali Songo adalah bagaikan MUI sekarang ini, dakwah mereka penuh gerilya kebudayaan dan politik. Manusia Majapahit digerilya, sehingga terdesak ke Bromo (suku Tengger) dan pulau Bali. Mengingat negara baru memerangi KKN, mestinya fatwa MUI adalah tentang KKN (yang relevan), misal pejabat tinggi negara yang PNS yang mempunyai tabungan diatas 3 milyar rupiah diharuskan mengembalikan uang haram itu (sebab hasil KKN), namun karena memang ditujukan untuk membelokan pemberantasan KKN, yang terjadi justru sebaliknya, fatwanya justru yang aneh2 dan merusak keharmonisan kebhinekaan Indonesia!
– Buku2 yang sulit diterima nalar, dan secara ngawur dan membabi buta ditulis hanya untuk melawan dominasi ilmuwan Barat saat ini membanjiri pasaran di Indonesia. Rupanya ilmuwan Timur Tengah ingin melawan ilmuwan Barat, semua teori Barat yang rasional-empiris dilawan dengan teori Timur Tengah yang berbasis intuisi-agamis (berbasis Al-Quran), misal teori kebutuhan Maslow yang sangat populer dilawankan teori kebutuhan spiritual Nabi Ibrahim, teori EQ ditandingi dengan ESQ, dst. Masyarakat Indonesia harus selalu siap dan waspada dalam memilih buku yang ingin dibacanya.
– Dengan halus, licik tapi mengena, mass media, terutama TV dan radio, telah digunakan untuk membunuh karakater (character assasination) budaya Jawa dan meninggikan karakter budaya Arab (lewat agama)! Para gerilyawan juga menyelipkan filosofis yang amat sangat cerdik, yaitu: kebudayaan Arab itu bagian dari kebudayaan pribumi, kebudayaan Barat (dan Cina) itu kebudayaan asing; jadi harus ditentang karena tidak sesuai! Padahal kebudayaan Arab adalah sangat asing!
– Gerilya yang cerdik dan rapi sekali adalah melalui peraturan negara seperti undang-undang, misalnya hukum Syariah yang mulai diterapkan di sementara daerah, U.U. SISDIKNAS, dan rencana UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (yang sangat bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika dan sangat menjahati/menjaili kaum wanita dan pekerja seni). Menurut Gus Dur, RUU APP telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 karena tidak memberikan tempat terhadap perbedaan. Padahal, UUD 1945 telah memberi ruang seluas-luasnya bagi keragaman di Indonesia. RUU APP juga mengancam demokrasi bangsa yang mensyaratkan kedaulatan hukum dan perlakuan sama terhadap setiap warga negara di depan hukum. Gus Dur menolak RUU APP dan meminta pemerintah mengoptimalkan penegakan undang-undang lain yang telah mengakomodir pornografi dan pornoaksi. “Telah terjadi formalisasi dan arabisasi saat ini. Kalau sikap Nahdlatul Ulama sangat jelas bahwa untuk menjalankan syariat Islam tidak perlu negara Islam,” ungkapnya. (Kompas, 3 Maret 2006).
– Puncak gerilya kebudayaan adalah tidak diberikannya tempat untuk kepercayaan asli, misalnya Kejawen, dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan urusan pernikahan/perceraian bagi kaum kepercayaan asli ditiadakan. Kejawen, harta warisan nenek moyang, yang kaya akan nilai: pluralisme, humanisme, harmoni, religius, anti kekerasan dan nasionalisme, ternyata tidak hanya digerilya, melainkan akan dibunuh dan dimatikan secara perlahan! Sungguh sangat disayangkan! Urusan perkawinan dan kematian untuk MJ penganut Kejawen dipersulit sedemikian rupa, urusan ini harus dikembalikan ke agama masing2! Sementara itu aliran setingkat Kejawen yang disebut Kong Hu Chu yang berasal dari RRC justru disyahkan keberadaannya. Sungguh sangat sadis para gerilyawan kebudayaan ini!
– Gerilya kebudayaan juga telah mempengaruhi perilaku manusia Jawa, orang Jawa yang dahulu dikenal lemah-lembut, andap asor, cerdas, dan harmoni; namun sekarang sudah terbalik: suka kerusuhan dan kekerasan, suka menentang harmoni. Bayangkan saja, kota Solo yang dulu terkenal putri nya yang lemah lembut (putri Solo, lakune koyo macan luwe) digerilya menjadi kota yang suka kekerasan, ulama Arab (Basyir) mendirikan pesantren Ngruki untuk mencuci otak anak2 muda. Akhir2 ini kota Solo kesulitan mendatangkan turis manca negara, karena kota Solo sudah diidentikan dengan kekerasan sektarian. Untuk diketahui, di Pakistan, banyak madrasah disinyalir dijadikan tempat brain washing dan baiat. Banyak intelektual muda kita di universitas2 yang kena baiat (sumpah secara agama Islam, setelah di brain wahing) untuk mendirikan NII (negara Islam Indonesia) dengan cara menghalalkan segala cara. Berapa banyak madrasah/pesantren di Indonesia yang dijadikan tempat2 cuci otak anti pluralisme dan anti harmoni? Banyak! Berapa jam pelajaran dihabiskan untuk belajar agama (ngaji) dan bahasa Arab? Banyak, diperkirakan sampai hampir 50% nya! Tentu saja ini akan sangat mempengaruhi turunnya perilaku dan turunnya kualitas SDM bgs. Indonesia secara keseluruhan! Maraknya kerusuhan dan kekerasan di Indonesia bagaikan berbanding langsung dengan maraknya madrasah dan pesantren2. Berbagai fatwa MUI yang menjungkirbalikan harmoni dan gotong royong manusia Jawa gencar dilancarkan!
– Sejarah membuktikan bagaimana kerajaan Majapahit, yang luarbiasa jaya, juga terdesak melalui gerilya kebudayaan Arab sehingga manusianya terpojok ke Gn. Bromo (suku Tengger) dan P. Bali (suku Bali). Mereka tetap menjaga kepercayaannya yaitu Hindu. Peranan wali Songo saat itu sebagai alat politis (mirip MUI dan ICMI saat ini) adalah besar sekali! Semenjak saat itu kemunduran kebudayaan Jawa sungguh luar biasa!
Tanda-tanda Kemunduran Budaya Jawa
Kemunduran kebudayaan manusia Jawa sangat terasa sekali, karena suku Jawa adalah mayoritas di Indonesia, maka kemundurannya mengakibatkan kemunduran negara Indonesia, sebagai contoh kemunduran adalah:
– Orang2 hitam dari Afrika (yang budayanya dianggap lebih tertinggal) ternyata dengan mudah mempedayakan masyarakat kita dengan manipulasi penggandaan uang dan jual-beli narkoba.
– Orang Barat mempedayakan kita dengan kurs nilai mata uang. Dengan $ 1 = k.l Rp. 10000, ini sama saja penjajahan baru. Mereka dapat bahan mentah hasil alam dari Indonesia murah sekali, setelah diproses di L.N menjadi barang hitech, maka harganya jadi selangit. Nilai tambah pemrosesan/produksi barang mentah menjadi barang jadi diambil mereka (disamping membuka lapangan kerja). Indonesia terus dengan mudah dikibulin dan dinina bobokan untuk menjadi negara peng export dan sekaligus pengimport terbesar didunia, sungguh suatu kebodohan yang maha luar biasa.
– Orang Jepang terus membuat kita tidak pernah bisa bikin mobil sendiri, walau industri Jepang sudah lebih 30 tahun ada di Indonesia. Semestinya bangsa ini mampu mendikte Jepang dan negara lain untuk mendirikan pabrik di Indonesia, misalnya pabrik: Honda di Sumatra, Suzuki di Jawa, Yamaha di Sulawesi, dst. Ternyata kita sekedar menjadi bangsa konsumen dan perakit.
– Orang Timur Tengah/Arab dengan mudah menggerilya kebudayaan kita seperti cerita diatas; disamping itu, Indonesia adalah termasuk pemasok devisa haji terbesar! Kemudian, dengan hanya Asahari, Abu Bakar Baasyir dan Habib Riziq (FPI), cukup beberapa gelintir manusia saja, Indonesia sudah dapat dibuat kalang kabut oleh negara asing! Sungguh keterlaluan dan memalukan!
– Kalau dulu banyak mahasiswa Malaysia studi ke Indonesia, sekarang posisinya terbalik: banyak mahasiswa Indonesia belajar ke Malaysia (bahkan ke S’pore, Thailand, Pilipina, dst.). Konyol bukan?
– Banyak manusia Jawa yang ingin kaya secara instant, misalnya mengikuti berbagai arisan/multi level marketing seperti pohon emas, dst., yang tidak masuk akal!
– Dalam beragamapun terkesan jauh dari nalar, bijak dan jauh dari cerdas, terkesan hanya ikut2an saja. Beragama tidak harus menjiplak kebudayaan asal agama, dan tidak perlu mengorbankan budaya lokal.
– Sampai dengan saat ini, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai krisis (krisis multi dimensi), kemiskinan dan pengangguran justru semakin meningkat, padahal negara tetangga yang sama2 mengalami krisis sudah kembali sehat walafiat! Peran manusia Jawa berserta kebudayaannya, sebagai mayoritas, sangat dominan dalam berbagai krisis yang dialami bangsa ini.
Penutup
Beragama tidak harus menjiplak kebudayaan asal agama. Gus Dur mensinyalir telah terjadi arabisasi kebudayaan. Kepentingan negara asing untuk menguasai bumi dan alam Indonesia yang kaya raya dan indah sekali sungguh riil dan kuat sekali, kalau negara modern memakai teknologi tinggi dan jasa keuangan, sedangkan negara lain memakai politisasi agama beserta kebudayaannya. Indonesia saat ini (2007) adalah sedang menjadi ajang pertempuran antara dua ideologi besar dunia: Barat lawan Timur Tengah, antara kaum sekuler dan kaum Islam, antara modernitas dan kekolotan agama. CLASH OF CIVILIZATION antar dua ideologi besar di dunia ini, yang sudah diramalkan oleh sejarahwan kelas dunia – Samuel Hutington dan Francis Fukuyama.
Tanpa harus menirukan/menjiplak kebudayaan Arab, Indonesia diperkirakan dapat menjadi pusat Islam (center of excellence) yang modern bagi dunia. Seperti pusat agama Kristen modern, yang tidak lagi di Israel, melainkan di Itali dan Amerika. Beragama tanpa nalar disertai menjiplak budaya asal agama tersebut secara membabi buta hanya akan mengakibatkan kemunduran budaya lokal sendiri! Maka bijaksana, kritis, dan cerdik sangat diperlukan dalam beragama.
Budaya Jawa itu plural sessuai Bhineka tunggal ika, dia itu terbuka. Ada Islam Jawa, ada Islam Abangan, ada Islam Arab dan Islam campur aduk. Semua bentuk itu akibat proses alkuturasi Budaya Arab, Melayu dan Jawa, budaya ini disebut NKRI (negara kesatuan republik indonesia).
Menjadi ruwet ketika negara ikutan masuk kewilayah ibadah, yang seharusnya wilayah ini milik pribadi-pribadi. Nikah saja diurus oleh negara (KUA), nikah itu kan cukup sah didepan ulama/ustaz saja. Haji juga gitu, negara ikutan, akibatnya ongkos haji lebih mahal . Penentuan tanggal 1 Syawal juga gitu, Muhamadyah lain NU lain. Mbok negara tidak usah ikutan, biarkan keanekaragaman ini tumbuh dalam diskusi yang bhineka tunggal ika.-
Jadi gimana budaya Jawa itu? Dia Tetap utuh terpelihara sesuai kemajuan dengan dinamika sosial . Dia sudah menjadi Indonesia.
salam
jamane wis rasional … makane yaa ojo sing ora rasional …. komentar sampean atas koemntar yang oot itu excellent..
Selamat membaca.
Assalaamu’alaikum.
Saya menemukan posting yang sangat menarik tentang: Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam. Ini link-nya: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1312
Selamat membaca dan terima kasih,
Wassalam
Saat ini, Indonesia mengalami krisis multi-dimensi. Sedangkan sebagian besar dari krisis ini disebabkan oleh agama.
Agama Islam adalah agama dari rumpun Abrahamik seperti halnya Kristen dan Yahudi. Ketiga agama ini menanamkan kebencian, permusuhan dan kekerasan sepanjang massa.
Penduduk Indonesia adalah 60% berada di Jawa. Jadi kekuatan ada di Jawa. Kalau orang jawa segera meninggalkan agama rumpun abrahamik dan kembali kepada Kepercayaan asli, maka sebagian besar dari krisis ini akan hilang dan Indonesia akan seketika sembuh dari krisis ini.
Indonesia adalah negara besar, kaya dengan sumber alam. Indonesia tidak berhak mempunyai nasib yang sepuruk ini.
Indonesia sebenarnya adalah negara yg paling makmur dan santosa.,
tetapi semuanya itu menjadi suatu yg sangat sulit dicapai..
Halitu disbabkan karena kemerosotan nilai niali karakteristik dalam diri manusia. Yang lbih mengutamakan kpntingin INdividu dari pada kpentingan untuk orang banyak.Sehingga negara indonesia yg kaya akan SDA menjadi rawan bncana yg diakibatkn oleh tindakn manusia yang serakh
serta yg lbih mengutamakan kpntingan golonganpribadi.
negara indonesia tidak mudah untuk di kuasai oleh pnjajahan atau desantrilisasi dari negara lain apabila setiap manusia sadar akan hakekat dirinya yg sejati. maka dari itu kemakmuran akan trcapai jika dimulai dalam diri kita masing2 yaitu dg menanamkan budi pekerti, ajaran nilai nilai luhur,moralitas dalam diri,pedoman hidup yang lbih baik, kemulian ,pengabdian terhadap negara serta rasa saling mengasihi di setiap hati sanubari nmanusia karena disanalah trpancar kebahagian yg merupakan suatu jaln utk mencapai kemakmuran. pemimpin negara kita yg telah brhasil menguasai seluruh neghara nusantara ini juga tidak lepas dari ajaran ajaran yg disebutkan diatas.Seprti gajah mada yg memiliki kharisma serta kekuatan kpemimpinan yang luar biasa itu dapat dibuktikan hanya dengan pengabdian dan kesetiaannya utk memprtahankan negarani dg tanggung jawab yg didasari dg pondasi nilai nilai luhur. jangan tanamkan rasa kebencian disetiap Hati kita masing masing terhadap perbedaan antara yg satu dg yang lain tapi tanamkan lah nilai moralitas, budi pekerti yg luhur dan saling mengasihi disetiap perbedaan. apabila konflik selalu trjadi kita akan khilangan warisan nenek moyang kita yg sangat mulia dan berharga utk kturunan kita selanjutnya.oleh karena itu Tuhan mnciptakn berbagai macam prbedaan bkn utk kehancuran tetapai keanekaragaman yg sangat unik dan patut kita syukuri.maka dari itu konflik karena perbedaan agama tdk lah mnghasilkan sesuatu yg significant justru kebncian,prmusuhan yang selalu trjadi di negri ini. kita semua sdh pasti mengingin kan kbahagiaan dan tanpa kedamaian kebahagiaan tdk mungkin kita raih. olh karena itu, lbih baiknya kita mnciptakan keharmonisan dalam perbedaan
demikian lah komentar yang saya sampaikan.. dan apabila da kata2 yg tdk berkenan di hati saodara saodari sekalian saya minta maaf yg sebesar besarnya. akhir kata saya ucapkan Om lokha samasta sukhno bawantu…. semoga kalian selalu brbahagia dalam perlindungan Tuhan
Om shanti3xom
Senang banget nemu situs ini, kita dapat saling tukar pikiran dan pengalaman. Ini perlu direnungkan, kita lahir ke dunia tidak bisa memilih jenis kelamin, tempat lahir, status sosial dll. Jika terdapat ajaran agama yang tiba-tiba langsung membagai habis menjadi 3 kelompok, yaitu percaya, menolak dan mendua serta hukuman bagi yang menolak dan mendua, itu tentu perlu dicermati. Agama sesuatu yang transenden dan immanen, harusnya tidak dikotori oleh dogma maupun doktrin menakutkan yang sesungguhnya hanya syahwat duniawi (politik dan ekonomi) semata, sehingga membelunggu kawulo untuk mencari (manunggal) dengan GUSTInya.
Saya juga mengingatkan bagi komunitas Jawa jangan terjebak dalam kultus individu (kelompok), sehingga merasa lebih unggul (luhur) dibanding lainnya. Memang menelusur kembali ajaran (wewarah) adiluhung dari nenek moyang sangat perlu, tetapi tanpa harus antipati terhadap ajaran lain yang baik. Orang Jawa selalu diingatkan OJO DUMEH, ORA [ADIGANG (kuat) ADIGUNG (kaya status sosial tinggi) LAN ADIGUNO (pandai)], Ojo rumongso biso ning bisoa rumongso. Jika sudah mampu pada tataran asketis (ora kadonyan) maka Menungso Jowo pinter tanpa minteri lan ngakali; nglurug tanpa wadyabala; sugih tanpa bondo; menang tanpa ngasorake. Ini artinya seperti Jaman Putri Sima (sekitar abad 4) kejujuran dan keadilan ditegakkan, sehingga pada Jaman Majapahit (abad 13-15) kejayaan dalam mempersatukan Nuswantara terwujud (Amukti Palapa). Pada masa itu keyakinan Hindu dan Budha juga dapat bersanding tanpa bertikai, nah bagi masyarakat Jawa dalam menyongsong globalisasi (bebrayan agung) perlu mengetengahkan wewarah (local wisdom) kepada masyarakat global melalui perjuangan HAM dan kesetaraan gender, demokratisasi, perbaikan lingkungan hidup dengan rasional dan realistis. Monggo dalem sengkuyung.
Pranawa WahYU aDI WIDODO (biasa disebut Yudi Widodo)
Mungkin intinya saja, agama islam kini telah berhasil menjadi tuan dinegeri orang, termasuk nusantara ini, padalah nusantara (Jawa Khususnya) bukanlah bangsa yang tak beragama, namun sebegitu kuatnya pengaruh islam, sehingga mampu menjadi hakim dinegeri orang dimanapun, dengan cap sesatnya, syiriknya dan segala macam hal yang tidak selaras dengan pandangan islam itu.
Tapi sampai sekarang masih ada hal dibalik itu semua, Jawa tetaplah Jawa mas, agama apapun masuk jawa tak mampu merubahnya secara menyeluruh, kulit luar mungkin bisa seperti itu, tapi dalamnya tetap budhi jawa terkandung, sehingga ketika agama hindu masuk ada sebutan hindu jawa, islam masuk ada islam jawa (kejawen), jadi jangan kawatir mas, kita yakin saja pada garis lelakon orang jawa yang sudah didongengkan leluhur kita (Jangka Jayabaya, dan Ramalan Ronggowarsito) misalnya, bahwa perjalanan dunia memang harus terjadi seperti itu, kayaknya kok gak jauh dengan yang sudah tertulis dalam dari Jangtka Jayabaya dan Ramalan Ronggowarsito,
jangka jaya baya sudah datang mas,
begitupun janji sabdo palon.
jadi jangan khawatir!!!
‘menggelikan’ kata pertama yang bisa d sampaikan saat membaca uraian agama, jawa, dan Indonesia. Bagaimana tiba-tiba ada cerita setelah penjajahan barat meloncat imperialisme arab.
Kenapa tidak menyalahkan barat atas; gold, glory n gospel mereka!
Sudah dijajah, dikeruk hartanya, dipaksa mengikuti budaya barat pula!
Namun bukan ini yang mau saya sampaikan, segala yang di ambil Indonesia adalah sisa asing, dari agama, budaya, dan teknologi. Saat kita mengambil hindu/budha India dominasi Islam. Saat Islam pesat di Indonesia, Imperium Turki Islam kalah oleh barat. Sekarang saat kita meniru barat jangan2 barat sebentar lagi hancur oleh peradaban yang lebih baru, mengingat Islam berkembang sangat pesat di Eropa dan Amerika.
Tengok saja halaman White house (gedung putih) kemarin, tgl 26 sept 09 dipakai untuk sholat jum’at berjamaah. sayang TV kita tidak menyiarkannya :), Saat jadi Presiden Bill Clinton sudah mengadakan buka puasa bersama di gedung putih walau baru 1 kali. Do’a pelantikan Barrack Obama ada cara Islam pula, banyak menteri, profesional, dan selebritas barat masuk Islam.
Coba saja Lady Diana tidak dibunuh kerajaan, Dia hamil oleh orang arab mesir(al Fayed), yang notabene beragama Islam, kerabat kerajaan Inggris ada orang Islamnya 🙂
Akhirnya, jika transaksi budaya karena kebencian, kita akan semakin menciut, tetapi jika kita melihat sebagai khazanah budaya, maka Indonesia adalah negara multikultur, tempat semua biji kebaikan tumbuh subur.
Islam emang agama perusak, sebelum masuk Islam orang Jawa berkebudayaan tinggi, tapi setelah jadi Islam malah jadi teroris!
Mas Saru (jorok) ojo asal njeplak kowe…. opo kowe pikir teror Basque di Spanyol iku wong sing agamane Islam? Pemberontak ning Irlandia Utara iku wong sing agamane Islam? Opo sing duwe ide Inkusisi ning Spanyol iku wong Islam? Sampeyan belajar dulu sebelum njeplak!!!!
JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN EA, BERANI KAH UCAPAN MU DI PERTANGGUNG JAWAB KAN DI AKHIRAT NANTI,
KEDATANGAN ISLAM DI JAWA ITU MENJADI KEBERKAHAN YANG TERINDAH.
KAMU BELUM MENGENAL ISLAM YANG SEBENAR NYA. KENALI DULU , BARU NGOMONG. AKU GAG TERIMA AGAMA ISLAM DI KOTORI OLEH MULUT MUE YANG BUSUK.
nampaknya kedatangan agama-agam dari “tanah ayam jago/ gurun” tidak pas atau tidak membawa berkah untuk bangsa melayu termasuk jawa. Maing-masing pengikut agama jadi pemalas karena iming-iming, kalau tekun sembayang dsb akan dapat pahala sekian puluh kali. Makin hari menunjukkan makin ganas, brural dan korup dirasakan sebagai rejeki yang dimohonkan. Kapan ini akan berakhir, semogan Tuhan yang sebenarnya mulai datang seperti sediakala.
Jadilah diri sendiri….
Jadilah diri sendiri….
Siapakah yang harus mempertahankan budaya jawa… ya orang jawa.
Demikian juga dengan daerah lain.
setujuh dengan juragan. salam
Saya asli orang jawa ,saya makan dan minum juga dari Bumi jawa.trimakasih.[saya setuju pendapat diatas]
Saya bukan muslim. Saya orang jawa asli yang sedang mencari Tuhan. Saya yakin orang Jawa sudah beragama sebelum Hindu, Islam, Kristen masuk tanah Jawa. Saya ingin belajar agama Jawa. Tapi kepada siapa ya? Bagi yang tau mohon informasinya. Tks
Ya mungkin sekarang kita harus ingat marang jawa’ne biar biar bumi nusantara ini bisa gema ripah loh jinawi seperti jaman majapahit dulu……. dan klo bisa kita tinggal kan unsur2 yahudi atau pun arab yg ada di bumi nusantara. bangsa kita punya beraneka ragam bahasa kenapa kita harus memakai bahasa orang yang nota bene kita sendiri ga tau maksud nya. Rahayu……….
paran ikey….
apik pisan agh materine agh,,,,,
agama manapun …juga jawa…tidak pernah membuat pemeluknya merasa tdk bahagia…juga tdk pernah membuat pemeluknya merasa terkekang tapi selalu membuat merasa merdeka dengan nya…bahkan orang yang tak beragamapun merasa bahagia bersamanya…
jadi jika kita merasa tdk merdeka dan tdk bahagia, juga ada yang merasa terbelenggu dan sengsara karena agama kita, mungkin kita perlu pemahaman ulang atas penafsiran agama yang kita yakini…agar benar bisa menjadi rahmat seluruh alam.
kita mungkin pernah membaca sebuah kitab suci yg mengejek atau menjelekkan kelompok/agama/keyakinan lain, sehingga kita mendjadi “sinis” dengan lainnya…percayalah bahwa kita sedang salah “baca”… saya percaya bahwa semua kitab suci tdk ada yg seperti itu, begitulah sepanjang yang saya baca bahkan terhadap sebuah kalimat yg menurut orang kebanyakan memang bener mengejek…
salam bahagia sejahtera selalu saudaraku.
,,,,dan oleh karena itu carilah agama yg “mudah” bagimu karena sesungguhnya Tuhan itu memberikan kemudahan kepada makhluknya untuk mencapai kebahagiaan ataupun yang ingin berkomunikasi dengan DiriNYa..,siapaun, bagaimanapun, seperti apapun makhluk itu… ini supaya kita tdk mudah dijajah oleh “lainnya” yg sebenarnya ingin membodohkan kita melalui pendekatan “agama”…
smoga damailah seluruh penghuni alam….salam…
Luar biasa dungu orang yang mengatakan haji sebagai bentuk imperealisme. Sedangkan anak TK pun tahu bangsa kristen selama 350 tahun merampok, menindas, dan menjarah kekayaan alam berikut penghuni nusantara di masa lalu. Di masa lalu? Maaf, saya salah. Yang benar hingga saat ini penjarahan kekayaan alam di nusantara ini dan penindasan masyarakatnya tidak juga berhenti. Minyak, emas, tembaga, hutan, bahkan udara bukan lagi punya Indonesia. Segala kebijakan politik, ekonomi, bahkan budaya harus seperti keinginan mereka. Mereka yang jadi sesembahan si dungu tadi.
makasih informasinya yg selama ini aku cari
heh loe shinobi jangan menyalah kan agama islam, rukun haji memang salah satu kewajiban bagi para umat islam “YANG MAMPU” untuk menunaikannya, islam tidak pernah memaksa bagi mereka yang tidak mampu untuk menunaikannya
bagiku semua benar dan semua salah,yg jelas apapun agama dan kepercayaan kalian semua jangan berantem donk dan jangan saling menyalahkan satu sama yg laen,,,,,,,,,mana kebaikan agama dan kepercayaan kalian kalo semua bersifat saling menjatuhkan ,bukankah sifat sifat demikian tidak di ajarkan di agama dan kepercayaan kalian semua ,,,,,,,,,haduuuuuhh kepiye kok ngene iki ? gimana bansa ini bisa maju dolorrrrrrrrr,,,,,,,,,,,kalo rakyatnya saling rebutan bener,,,,,,,,,,,ayolah kita kembali kepada PANCASILA dan BINIKA TUNGGAL IKA sebagai jiwa bangsa indonesia tercinta ,MERDEKA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Luar biasa dungu orang yang mengatakan haji sebagai bentuk imperealisme. Sedangkan anak TK pun tahu bangsa kristen selama 350 tahun merampok, menindas, dan menjarah kekayaan alam berikut penghuni nusantara di masa lalu. Di masa lalu? Maaf, saya salah. Yang benar hingga saat ini penjarahan kekayaan alam di nusantara ini dan penindasan masyarakatnya tidak juga berhenti. Minyak, emas, tembaga, hutan, bahkan udara bukan lagi punya Indonesia. Segala kebijakan politik, ekonomi, bahkan budaya harus seperti keinginan mereka. Mereka yang jadi sesembahan si dungu tadi.
MATAMU SUWEK IKU GUS.! YA MEMANG BENAR ORANG2 KULIT PUTIH MEMANG JANCUKAN. TAPI WONG ARAB YO ORA KALAH JANCOKAANE.NGERTI GAK KON IKU.
YO PANCEN BENER YANG NAMANYA Haji sebagai bentuk imperealisme ORANG TIMUR TENGAH.TAPI ITU IMPERALISME YANG SIFATNYA HALUS DAN LEMBUT TETAPI LICIK,CULAS TETAPI ITU TIDAK KALAH GANASNYA SAMA IMPERALISME BARAT.
YANG NAMANYA IBADAH HAJI ITU MEMANG BENTUK IMPERALLISME ORANG TIM TENG YANG SANGAT CERDIK KARENA TELALU CERDIKNYA METODE PEMBODOHAN DARI MEREKA,MAKAN YA ORANG SEDUNGU KAMU TIDAK BAKALAN NGERTI KARENA KAMU ITU BODOH. SEKALI LAGI YANG DUNGU ITU KAMU GUS DAN BUKANYA ORANG-ORANG KEJAWEN.
JADI KALAU AGAMA KAMU ITU EMANG AGAMA YANG PENUH KEBUSUKAN DAN KECULASAN YA AKUI AJALAH ,TIDAK USAH MENYALAHKAN ORANG LAIN .PAKAI BAWA ORANG BARAT LAGI .KAMI JUGA UDAH TAHU EMANG YANG NAMANYA ORANG BARAT ITU EMANG LICIK,TETAPI KAMU JANGAN LUPA ORANG ISLAM JUGA TIDAK KALAH BUSUKNYA.
KALO BUSUK AKUI AJA BUSUK APA SUSAHNYA SIH .DASAR ORANG GEBLEK.KALO NGACA ITU PAKAI KACA YANG AGAK MAHALAN DIKIN .JANGAN MALAH PAKAI AIR COMBERAN BUAT NGACA.. WIS DONG OPO URUNG GUS.?
KALO BUSUK AKUI AJA BUSUK APA SUSAHNYA SIH .DASAR ORANG GEBLEK.KALO NGACA ITU PAKAI KACA YANG AGAK MAHALAN DIKIT .JANGAN MALAH PAKAI AIR COMBERAN BUAT NGACA.. WIS DONG OPO URUNG GUS.?
HE KALIAN SEMUA ORANG2 ISLAM KAMI DENGAN HORMAT MEMINTA AGAR KALIAN ORANG2 ISLAMDAN PENGIKUT SELURUH AJARAN SEMITIK SEGERA SADAR DIRI UNTUK SEGERA MENINGGALKAN BUMI NUSANTARA INI.NEGERI INI MILIK KAMI PARA PENGIKUT AJARAN LOKAL.KALIAN TIDAK BERHAK TINGGAL DINEGERI WARISAN LELUHUR KAMI.KALIAN TELAH DURHAKA TERHADAPP PARA LELUHUR JADI SUDAH SELAYAKNYA KALIAN TAHU DIRI DAN SEGERA HENGKANG DARI NEGERI KAMI.
JADI KALIAN PARA BUDAK SEMITIK CEPATLAH KALIAN PERGI KETANAH TUAN KALIAN. SI IBLIS PADANG PASIR
KALIAN PARA BUDAK AJARAN SEMITIK CEPATLAH KALIAN PERGI KETANAH TUAN KALIAN. SI IBLIS PADANG PASIR.
INGAT BUMI NUSANTARA BUKANLAH HABITAT KALIAN .KARENA HABITAT KALIAN ITU ADA DI GURUN.
HE KAMU WONG. SADARKAH KAMU NGOMONG GITU.
BANGSA INDONESIA KETIKA DI JAJAH BELANDA. PADA BULAN ROMADHON, BULAN KEBERKAHAN AGAMA ISLAM,BANGSA INDONESIA BISA MERDEKA. APA ITU MENURUT MUE KEKUATAN BANGSA INDONESIA SENDIRI ,ENGAAAAAAAAAAAAAK KALEEEEE.
SECARA LOGIKA MAMPUKAH BAMBU RUNCING MENGALAHKAN SENAPAN. DIPIKIR DULU NAPA SEBELUM NGOMONG, ITU SEMUA KARENA PERTOLONGAN ALLAH SWT DAN KEBERKAHAN DARI BULAN ROMADHON,. SEHARUSNYA KAMU ITU BERSYUKUR ADANYA AGAMA ISLAM DI JAWA……
tp adat jawa masih identik dengan ajaran hindu ya..?
Bisa mirip tapi tidak persis budaya Jawa tidak mengenal kasta yang dikenal dan di ajarkan adalah selaras teposeliro nusantara merdeka bukan karena hanya dukungan agama tertentu tapi oleh sejarah seluruh dunia tanpa ada bom atom jepang tidak akan pergi dari nusantara tanpa ada pbb perjuangan kemerdekaan indonesia sangat berat
It’s really very difficult in this full of activity life to listen news on Television,
thus I just use world wide web for that purpose, and obtain the latest news.
Mengenang 70 tahun (1945-2015) Proklamasi 1945, pernyataan kehendak bangsa Indonesia menentukan nasib sendiri, antara lain membentuk negara untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan : berdaulat dibidang politik, berdikari dibidang ekonomi, berkepribadian dibidang budaya.
Imperialisme Arab di Indonesia Sudah Jelas?
Disadari atau tidak seakan jelas bahwa kaum Arablah sebenarnya
sekarang yang sedang menjajah Indonesia. Lihat, sejumlah orang pemimpin alim ulama negeri ini adalah keturunan Arab. Gerombolan bolot yang ditangkap aparat tempo hari terdapat orang bertitel habib. Para habib-habib ini disebut-sebut sebagai keturunan Nabi Muhammad, dan gelar habib ini telah menjadi sebuah tiket untuk mendapat perlakuan khusus. Tidak tahu kenapa keturunan nabi harus dihormati walaupun perilakunya banyak yang tidak terpuji. Janggut nabi saja ditiru konon pula keturunannya tidak disanjung tinggi.
Mungkin pembawa agama-agama yang lain beruntung tidak mempunyai keturunan, sehingga arogansi karena mengklaim diri sebagai keturunan nabi tidak merajalela di bumi ini.
Bayangkan, negara yang sudah dinyatakan merdeka sejak 1945
ternyata masih dalam imperialisme ASIA BARAT (ARAB), bukan BARAT. Selama ini berbagai isyu tentang neokolonialisme Barat ditiup-tiupkan dengan gencar, opini bangsa digiring untuk membenci Barat. Ternyata ini semua pekerjaan musuh dalam selimut, selimut agama. Kemajuan teknologi dan perekonomian Barat dan perkembangan bisnis yang sedemikian pesat serta cara hidup ala Barat yang praktis sangat gampang ditiru. Hal ini telah diperhitungkan sebagai ancaman yang mengerikan dalam pandangan imperialisme Arab ini, sehingga isu neokolonialisme Barat dan Kristenisasi dihembuskan untuk keuntungan imperialisme Arab. Segala yang berbau Barat dikelompokkan sebagai peradaban kaum kafir oleh karenanya menjadi sesuatu yang haram. Orang tua termasuk guru-guru agama menjadi unjung tombak penyampaian keharaman yang berbau Barat ini. Sebagian besar orangtua di Indonesia memang relatif
masih sangat muda-muda. Baru punya sedikit janggut, lelaki sudah
boleh mengajak perempuan “anak baru gede” untuk menghadap penghulu. Tidak perduli apakah dia sudah matang atau belum untuk mendidik anak dan memberikan anaknya makan kelak. Mereka rata-rata tidak berpendidikan yang cukup sehingga tidak dapat berpikir rasional. Jadi begitu ada hasutan dari orang-orang yang mengaku ahli agama, mereka langsung tunduk sukarela, apalagi kalau disuplai uang pula.
Perdebatan diharamkan, teristimewa perdebatan soal agama, tidak tersentuh. Melakukan sesuatu atas nama agama seperti kerbau dicucuk hidung, tidak punya daya kritis sama sekali. Melihat gampangnya sebagian besar anak bangsa ini dipengaruhi atas nama agama, adalah pengaruh indoktrinasi bahwa agama tidak boleh diperdebatkan. Para kaum Arab ini tidak mengajarkan agama itu sebagaimana seharusnya. Agama yang disampaikan tidak untuk menjadi pencerahan otak bagi umat, tetapi cenderung menjadi pembodohan. Tujuan mereka memang adalah untuk
menjajah, bukan untuk memanusiakan manusia dengan ajaran agama.
Seandainya bangsa ini mendapat pendidikan agama dengan benar serta dari sumber yang benar, tidak akan mungkin ada yang bernama Front Pembela Islam, Jama’ah Ansharut Tauhid, Laskar Jihad, dan lain-lain
gerombolan bolot yang lebih bangga menjadi anggota kesatuan organisasi
ekstrimis Islam Asia Barat / Timur Tengah daripada sebagai Islam Indonesia. Tidak mungkin orang yang bernama habib-habib itu menjadi alim ulama dan pemimpin gerombolan bolot di negeri ini. Sialnya, kesempatan untuk berfikir kritis terhadap agama sudah dipunahkan sejak awal. Sehingga dengan gampang anak-anak bangsa yang kurang pendidikan dan hidup kekurangan ini digiring untuk menjadi ekstrimis dan tunduk sukarela menjadi budak para Arab untuk mewujudkan ambisi mereka untuk meng-Arab-kan Indonesia.
Kemiskinan dan kebodohan ini telah dimanfaatkan, sebagian besar anak
bangsa ini sudah lebih bangga mampu berbahasa Arab daripada mampu
berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Lebih bangga memakai gamis
di jalan-jalan daripada memakai pakaian tradisional yang diwariskan leluhur bangsa Indonesia.
Apakah kita sudah sangat terlambat untuk membuang semua peradaban Arab dari bumi Indonesia ini? Saya fikir tidak ada istilah terlambat untuk
membuang kebolotan. Kita tidak boleh menjadi bangsa yang bolot. Saya
melihat tidak satupun peradaban Arab yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan bangsa ini dalam bidang apapun. Yang diberikan mereka hanyalah pembodohan, pembolotan, membuat orang tinggal manut.
Jika kita boleh bandingkan dengan kehidupan orang Kristiani Indonesia, misalnya. Mereka boleh menjadi orang yang sangat taat beragama, tetapi hidup kesehariannya tetap menjadi orang Indonesia. Mereka tidak langsung mengubah cara hidupnya seperti bagaimana dulu Yesus hidup secara lahiriah. Padahal seharusnya, sosok Yesus yang gambarnya ada dimana-mana sangat mudah untuk ditiru, tetapi tidak satupun penganut agama Kristiani meniru cara berpakaian Yesus, meniru janggotnya atau keriting rambutnya. Yang mereka praktekkan adalah kasih sayang yang diajarkan Yesus, bukan tampilan Yesus secara lahir.
Orang Bali Kristiani tetap dengan budaya Balinya, demikian juga Batak,
Toraja, Jawa dan lain-lain. Mereka tetap tampil sebagai orang Indonesia, mereka beribadah dalam bahasa asalnya masing-masing, bahasa China, Batak, Sunda, Bali, Jawa, dan lain-lain. Malah tidak ada gereja yang berbahasa Ibrani di Indonesia, sebagaimana dulu Yesus mempergunakan bahasa itu mengajar murid-muridnya. Kristiani tetap menghargai budaya asal pemeluknya tanpa sama sekali menerapkan budaya Yesus (budaya Yahudi / Israel). Pemeluk Kristiani dari suku apapun diterima sebagai pribadi yang merdeka, secara lahir mereka tetap sebagaimana asalnya, yang diubahkan adalah kehidupan spiritualnya, jiwanya.
Sebelum bangsa ini benar-benar hilang, sebelum identitas kita sebagai
bangsa Indonesia tergantikan oleh identitas Arab, mari kita berbenah.
Mengikis segala bentuk penjajahan dalam setiap bentuknya di bumi Indonesia ini. Jangan lengah dengan penjajah yang bertopeng agama, bercerminlah kepada penganut agama-agama lain di Indonesia, mereka lebih hidup merdeka sebagai bangsa Indonesia walaupun mereka menganut salah satu agama yang semuanya adalah agama import. Jangan biarkan Arab-arab itu memimpin kerohanian anda, bangsa ini sudah mengenal Islam ratusan tahun, sudah seharusnya ada Islam yang berkepribadian Indonesia, bukan berkepribadian Arab.
Indonesia dengan wilayah yang luas, alam yang kaya, letak yang strategis serta jumlah penduduk yang sedemikian besar terbelakang memang adalah sasaran empuk untuk dijadikan sekutu. Bangsa Arab dan segala bangsa-bangsa di dunia sadar akan hal itu. Bangsa-bangsa besar di
dunia ini melihat potensi yang dimiliki Indonesia. Dahulu Belanda datang
dengan cara kasar menjajah Indonesia, demikian pula Jepang. Nah,
bangsa Arab, dengan sangat licik masuk menjajah Indonesia dengan
memperalat agama Islam, dengan sifat religius yang dimiliki Indonesia,
bangsa ini begitu saja mengamini semua apa yang dikatakan bangsa Arab
sehingga banyaklah bangsa ini menjadi orang-orang tertipu. Mereka
berfikir telah menganut agama Islam yang benar, tidak tahunya hanya
menganut budaya Arab yang sarat dengan kekerasan, keberingasan. Musuh yang menikam dengan senyuman manis adalah lebih berbahaya daripada yang menikam dengan amarah.
Mungkin sulit dipercaya atau sedikit diketahui, bahwa imperialisme Arab di wilayah yang kini masuk “Negara Kesatuan Republik Indonesia” telah berlangsung sejak abad-7. Pada abad tersebut telah terdapat sejumlah koloni Arab di negeri ini. Mereka datang karena negeri ini relatif lebih nyaman dibanding negeri sendiri. Sebagian besar dunia Arab kering kerontang, sering terjadi perang antara lain perang saudara. Konflik antar dinasti semisal ‘Abbasiyyah, ‘Ummayyah dan Fathimiyyah – yang nota bene ketiganya masih terhitung keluarga besar nabi – adalah fakta yang sulit dibantah. Begitu pula konflik dengan bangsa lain semisal perang salib (1095-1291) dan perang kolonial sejak abad-16.
Mengingat jarak antara Nusantara dengan Arabia yang terbilang jauh dan terpisah laut luas, maka kolonisasi Arab di Nusantara tidaklah semasif dan secepat apa yang mereka lakukan di Afrika dan Eropa. Mereka hadir secara berangsur-angsur di wilayah yang umumnya relatif jauh dari pusat kekuasaan / kerajaan penduduk setempat, semisal di pesisir Minangkabau yang relatif jauh dari pusat Kerajaan Sriwijaya dan Banten yang relatif jauh dari pusat Kerajaan Sunda-Galuh. Kehadiran sejumlah bangsa Eropa pada abad-16 berangsur-angsur mengurangi kuasa dan pengaruh Arab di Nusantara, namun kuasa atau pengaruh Arab belum pernah betul-betul lenyap di Nusantara. Intinya, Nusantara – dengan segala pesonanya – telah menjadi panggung pertarungan berbagai pengaruh asing sejak menjelang tarikh Masehi. Kini, pada abad-21 imperialisme Arab berangsur-angsur seakan bangkit kembali melalui berbagai ormas (berkedok) agama, atau berkedok “Kebangkitan Islam Abad-15 Hijriyyah”. Dengan dukungan dana berlimpah sebagai hasil dari sumber alam minyak di Arabia, mereka relatif mudah menebar pengaruh ke negeri ini. Sekian tahun terakhir ini mereka banyak hadir semisal di kawasan wisata Puncak, sekitar 90 km ke arah selatan Jakarta. Muncullah berbagai bisnis jasa dengan memakai huruf Arab di sepanjang jalur tersebut, bahkan saya dapat info bahwa bisnis jasa semisal toko buku, photo copy, travel yang memakai huruf Arab juga merangkap jasa kawin kontrak – tentunya antara lelaki Arab dengan perempuan pribumi. Anehnya – atau konyolnya – warga setempat senang menerima mereka, mereka merasa beruntung mendapat jodoh atau menantu lelaki Arab, padahal tidak diimbangi dengan kesediaan orang Arab berjodoh atau bermenantu lelaki pribumi. Inilah akibat dari pemahaman agama Islam yang “Arab minded”, artinya menjadikan Arab sebagai ukuran beragama Islam. Apa-apa yang berasal dari Arab dianggap agama Islam, semisal janggut dan gamis. Padahal bukan cuma Nabi Muhammad yang bergamis dan berjanggut, namun musuhnya semisal Abu Lahab dan Abu Jahal juga demikian, karena mereka sama-sama orang Arab. Nabi diutus ke Arabia karena mereka paling butuh, mereka bangsa yang (sangat) barbar. Jika bangsa sebarbar Arab dapat dibina, maka bangsa lain – yang nota bene kurang sebarbar Arab – akan lebih mudah dibina.
Jelas, nabi diutus untuk mengislamkan orang, bukan mengarabkan orang. Orang diislamkan sambil dibiarkan lestari identitas suku dan bangsanya. Tidak perlu kearab-araban untuk menjadi Muslim yang baik. Ambil Islamnya, buang Arabnya.
Hapuskanlah segala fatwa yang mengharamkan memperdebatkan kebenaran yang diseru-serukan oleh sejumlah tokoh agama yang “Arab minded” supaya anda benar-benar mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. Seharusnya semakin manusia mengenal Tuhan (lewat agama yang dianutnya) maka sifat-sifat Tuhanpun akan menjadi denyut hidupnya.
Menyeru-nyeru kebesaran Tuhan dengan pedang terhunus dan amarah yang membara di dada adalah penghinaan kepada Tuhan itu sendiri.
Terpulang pada anda, apakah anda merasa dijajah kaum Arab atau tidak. Perlu difikirkan, kenapa membiarkan habib-habib memimpin anda, padahal kita punya semisal Pak Nasution, Siregar, Teungku, Bagindo Rajo, Tuanku, Mas Suparno atau Kang Jali, dan lain-lain. Bangunlah agama Islam yang berkepribadian Indonesia – anti kekerasan, anti keras kepala, anti benar sendiri, anti brutalisme, anti gamis – karena kita punya budaya sendiri, budaya Indonesia. Jangan cuma mengenang orang-orang yang melawan imperialisme Barat dan Jepang. Jangan cuma menganggap pahlawan atau pejuang, orang-orang yang melawan imperialisme Barat dan Jepang. Tetapi kenanglah, hargailah, jadikanlah pahlawan untuk para penentang imperialisme Arab.
Kepada aparat, jangan ragu-ragu mengamankan para gerombolan
bolot itu, demi kedamaian di bumi Indonesia tercinta. Mereka telah menjadi
momok yang menakutkan dan telah mencoreng wajah bangsa ini dalam pandangan dunia internasional.
MERDEKA!
Salam dari anggota keluarga Pejuang 1945!